KORUPSI DI INDONESIA
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peraturan
perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi
Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia
serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang
pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap
gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan
korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para
pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM
dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di
Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan
dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream
perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga
Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku
korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden
Soeharto, contoh kasus yang paling Aktual yang tak kunjung memperoleh titik
penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri
sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar
seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi
besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan khususnya di bidang
ekonomi di Indonesia?
Bagaimana praktek korupsi di indonesia?
Langkah-langkah apa saja yang dilakukan KPK guna mengatasi korupsi
di indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Tindak Pidana Korupsi
Menurut
Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan
tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu
Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek
pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi
kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti
(uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi
dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam
kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko
terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi
berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus
dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam
makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Jeremy
Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity
System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus
menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan
konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan
segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang
ddmokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya,
apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap
praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggaran hak asasi
manusia.
B.
Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi
merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan
geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari
diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya
peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak
cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan perundang-undang
yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi
meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari
peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak
ada recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti
ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak
lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi.
Dimensi
politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”,
merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana
peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah,
penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep
perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia,
yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan
perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis Hikmahanto
Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal,
Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU
Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi,
UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU
Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi
lainnya. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki dimensi
kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang
terhadap terjadinya praktek korupsi.
Fakta
yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi
menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui
korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan
dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John Perkin mempertegas peran
besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga donor seperti IMF,
Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat Negara berkembang seperti
Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap dalam hutang
luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia
saat itu. Hal ini dilakukan dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan
ekonomi di Indonesia, dan berhasil. Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi
Pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde baru, Soeharto.
Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi,
begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun sayang reformasi harus
dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang
“Buble Gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi
senjata ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau dinyana rakyat tak pernah
sadar, dan terbuai oleh lantunan lembut lagu dan kata tertata rapi dari
hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru.
Dulu korupsi tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi atau
desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan
daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan.
Pergeseran sistem yang penulis jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang
melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan demokratisasi dan pasar bebas bukan
satu-satunya alat penangkal korupsi, pergeseran pemerintah otoriter ke
pemerintahan demokratis tidak serta merta mampu menggusur tradisi suap-menyuap.
Korupsi ada di semua sistem sosial –feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme.
Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial untuk menyelesaikan
konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap. Harus
ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah
membawa disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat
miskin terus naik karena korupsi.
Dalam
kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan
dipelbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial,
kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum,
serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi
perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan
tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan
oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi
promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas
pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua alasan ini
menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan
karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Korupsi
dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi Pada paragraf awal penulis jelaskan
bahwa korupsi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti.
Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang
sehat. Sektor swasta sulit memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan
untuk memperoleh keuntungan maka mereka mau tidak mau terlibat dalam konspirasi
besar korupsi tersebut. High cost economy harus dihadapi oleh para pebisnis,
sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil di
Indonesia, kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di
sektor financial di pasar uang.
Salah
satu elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah
meningkatkan arus investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks
ini korupsi sering menjadi beban pajak tambahan atas sektor swasta. Investor
asing sering memberikan respon negatif terhadap hali ini(high cost economy).
Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika Indonesia
terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi.
Praktek korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi
alat efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus
administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup. Ketegangan politik
antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan melalui praktek korupsi
yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Pararel dengan pendapat
Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan penyakit ekonomi
inflasi dan korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966,
berhasil diatasi para teknokrat kita. Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda
kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi sudah
benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih bersifat
teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya.
Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu
ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu ekonomi malah
cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak terlalu
menggangfu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih menggairahkan”
pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah, yang
diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”!
Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan
sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan
nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi.
GDP turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari
korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi
adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat
pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika
sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di
daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota
DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam
berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, Jika sejak
krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada anjuran serius agar
pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi pada konglomerat),
dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti
harus ada keadilan politik.
Keadilan
ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak
dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main” berpolitik
yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita
menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan
berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data empirik
dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih
dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik
kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi
masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah
orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat
banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau
miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup
maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi
dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para
cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia.
Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya alam
kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang didalamnya telah
terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta bagi kepentingan
politik dan pribadi maupun kelompoknya.
C.
Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi
atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi
digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan
kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan
pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang
paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat
daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek
korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia.
Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi.
Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia,
karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah)
yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka
ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah,
investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki
potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan
meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah
terhambat. Boro-boro memacu PAD. Terdapat beberapa bobot yang menentukan daya
saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor
infrastruktur. Ketiga, faktor sosial – politik. Keempat, faktor ekonomi daerah.
Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan, dalam
hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat terbesar bagi investasi hal
ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi investasi yang
menyebabkan munculnya high cost economy yang berarti praktek korupsi melalui
pungutan-pungutan liar dan dana pelicin marak pada awal pelaksanaan
desentralisasi atau otonomi daerah tersebut. Dan jelas ini menghambat tumbuhnya
kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di
birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut
berubah. Kondisi sosial-politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya
investasi di daerah.
Pada
tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara
langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang membuat enggan
para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi politik
seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi politik
dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan
harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah
sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan
ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah (government
expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek pemerintah
tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur
negara). Bahkan akan berdampak pada investasi diluar pengeluaran pemerintah,
karena untuk meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah harus
menggenjot pendapatan dari pajak dan retrebusi melalui berbagai Perda
(peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak
pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab
munculnya high cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung
oleh birokrasi yang rumit.
D.
Memberantas Korupsi demi Pembangunan Ekonomi
Selain
menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan sistem
pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan
diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan publik. Dengan
begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk menikmati
pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling
ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan
standar tata pemerintahan melalui konstruksi integritas nasional. Tata
pemerintahan modern mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam tatanan seperti
ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang yang juga
harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari
korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian dari
tata pemerintahan, yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun,
memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan. Dengan
demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin seluruh pihak untuk
melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini penulis akui
sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan. Setidaknya
dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar bangunan
integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil
menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan
hasil yang sedikit.
Konstruksi
integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang oleh
pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta, ombudsman,
media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan
suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan
hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi
integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang
paripurna. Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan
terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will).
Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi dan
orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih
penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan dalam
bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau
warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga jabatan politik
tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai
tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan
mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Biasanya resiko politik
merupakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan
ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting?.
Dalam
tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara
tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik
dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk
menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara
sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang memiliki
integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan
kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang
cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat
diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika
Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan
sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus
dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan
pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan
menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para
investor akan memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena
hambatan ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang
kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim
investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang
njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali
oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.
Para
investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan tinggi.
Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak langsung pada
pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, peningkatan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah, peningkatan GDP dan pemerintah
akan mampu membangun sisten jaminan sosial warganya melalui peningkatan
kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang memberikan dampak langsung pada
peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.
BAB III
KESIMPULAN
Merangkai
kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam
bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian
untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat
utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang
telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena
pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang
sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya
menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu
dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan
politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak
mudah memang.
DAFTAR PUSTAKA
Harian Kompas, 13 juni 2006,
Bahan Bacaan Akhiar
Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,
MPKP, FE,UI.
Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “ Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, MPKP, FE.UI. Mubaryanto, Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity System”, Transparency International, 2000. Robert A Simanjutak,” Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan Kebijakan”, LPEM UI,
2003Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. |
Komentar
Posting Komentar